“Hidup untuk makan”,
mungkin pepatah inilah yang dapat kita
simpulkan melihat realitas kehidupan zaman sekarang ini. Ukuran susah atau
tidaknya sesorang hanya dipandang dari sisi materi. Seorang petani yang merasa enjoy dengan pekerjaannya dipandang orang lain sebagai
orang susah walau sebenarnya dia merasa bukan sebagai orang susah. Tukang
becak, kuli bangunan, nelayan, dan profesi setingkat mereka diasumsikan sebagai pekerjaan tak
terhormat yakni sebagai orang susah. Lucu, ya lucu sekali. Mereka tak merasa
sebagai orang susah tapi dianggap orang susah. Aneh dan sungguh aneh.
Seorang yang berdasi hidup mewah segalanya terfasilitasi dianggap
sebagai orang sukses. Ketika ada seseorang anaknya lulus dengan gelar sarjana,
dengan bangganya ia bilang “ Anak saya sudah jadi orang, wes dadi wong “.
Apakah ini yang dinamakan hakekat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan hanya diukur
oleh banyaknya materi?. Sifat “nrimo golek dunyo secukupe kanggo nyambung
urip” bagi orang Jawa sudah mulai
hilang. Filosofi “ makan untuk hidup ” kini tergeserkan oleh filosofi
impor dari eropa “ hidup untuk makan ”.
Kalau boleh saya katakan orang-orang berdasi “ lebih miskin dari
para petani yang mau bersifat qona’ah ”. Miskin, miskin secara bathin.
Orang bilang sifat qona’ah pertanda
sebagai orang kaya. Kaya bukan terletak pada dhohir tapi kaya
terletak pada bathin. Kaya bukan pada materi tapi kaya ada pada hati .
Fitrah manusia mempunyai sifat nafsu hayawaniyyah “ punya
banyak keinginan ”, keinginan disini dalam artian akan kepuasan duniawi,
berlimpahnya harta seolah-seolah merupakan kebahagiaan hakiki. Ini yang membuat
manusia rakus akan dunia. Jika dituruti terus tanpa ada sifat qona’ah
atas apa yang Allah SWT berikan bisa dipastikan kita tak akan menemukan
kebahagiaan hidup yang hakiki.
Di belahan dunia manapun tak terkecuali negara kita Indonesia " kesejahteraan masyarakat hanya diukur dari sisi ekonomi". Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi dan petumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi negara ini tumbuh, negara ini krisis, negara ini berkembang dan sebagainya. Selalu saja sisi luar, sisi dhohirnya saja tanpa melihat sisi bathinnya. Tak ayal, ekonomi memang penting tapi bukanlah yang terpenting. Materi secukupnya, kalau mau lebih ya usaha lebih tapi jangan berlebihan sehingga lupa daratan menghilangkan sifat qona’ah dalam diri kita. Dari fenomena sosial ini dapat kita simpulkan dengan analogi sederhana “ Jika kita banyak harta maka bahagia, jika kita banyak pangkat maka kita bahagia”. Penjajahan moral, ya penjajahan moral.
Dalam mimpiku berandai-andai suatu saat nanti kata “ pertumbuhan
ekonomi ” di dampingi dengan “ pertumbuhan karakter keqona’ahan ” .
Negara kita akan sejahtera, sejahtera bukan hanya fisik tapi juga bathin. Selanjutnya
bagaimana menurut anda, bagaimanakah hakikat sebuah kekayaan? bagaimana hakikat sebuah kebahagiaan? Apakah jika kita kaya kita bahagia?.
by : Kang Oup
by : Kang Oup
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda