Maulid Nabi adalah salah
satu tradisi pembacaan kisah perjalanan Nabi Muhammad Saw tentang bagaimana hidupnya
mulai akhlak beliau dan apa-apa yang patut dicontoh dari beliau baik yang
berupa natsar (baca:prosa), nadhom (baca: sya’ir) atau kombinasi
antara keduanya seperti Al Barzanji, Addiiba’i, Simtudduroor,
burdah, dliyaaullaami’ dan lain sebagainya. Sebuah pertanyaan besar,
apakah mungkin kita bisa menyuri tauladani akhlaq beliau jika kita tidak pernah
membaca tentang kisah teladan-teladan
hidup dan akhlaq beliau?. Sangat tidak masuk akal kita bisa meniru beliau tanpa
sesering mungkin membaca kisah tentang beliau.
Gambar : Peringatan Maulid Nabi di Unnes Mei 2013
Berlebihan
dalam memuji Nabi, inilah kata yang seringkali dilontarkan oleh sebagian
kelompok kepada para pecinta maulid. Pertanyaan, berlebihan bagaimanakah yang
mereka maksudkan?. Dimana letak berlebihannya?. Apakah para pecinta maulid
menganggap nabi sebagai Tuhan sehingga mereka dituduh berlebihan?.
Mungkin,
mereka belum belajar “Alhamdulillah”, ya belum belajar alhamdulillah.
Arti Alhamdulillah secara umum diartikan bahwa “ Segala puji hanya milik
Allah SWT”. Namun, makna tersebut adalah makna global yang menyimpan makna
rinci. Dalam dunia pesantren secara rinci diartikan bahwa “ Segala puji yang
4 macamnya hanya milik Allah””. Pertama, puji Qadim ‘alal Qadim
yaitu Allah Ta’ala memuji dzat-Nya sendiri seperti dalam Al Qur’an Laa ilaaha illa Ana. Kedua
Qadim alal Hadits yaitu Allah Ta’ala memuji makhluknya seperti pujian Allah
SWT terhadap Nabi Muhammad Saw “ Laqod
jaa'akum rosuulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun
‘alaikum bil mu’miniina rouufun rohiim”. Allah Ta’ala memuji nabi bahkan
dengan nama-Nya sendiri ‘Aziizun,
Rouufun, Rohiimun dan harishun.
Jikalau mereka menganggap bahwa memuji nabi di larang karena tidak di contohkan Nabi (baca:katanya). Sekarang mari kita buka lebar-lebar mata kita. Bukankah dalam ayat tersebut sudah jelas-jelas dicontohkan oleh Allah SWT tentang memuji Nabi?. Apakah kita merasa lebih besar dari Allah SWT? merasa lebih besar dari Tuhan? kita tidak mau memuji Nabi?. Tuhan saja memujinya, kita sebagai makhluk kok kemaki tidak mau memuji nabi. Al Qur’an sumber pertama dan utama kawan. Jangan menjadikan hadits sebagai yang pertama dan utama. Ketiga haadits ‘alal Qaadim seperti sebelum berdoa kita memuji Allah SWT “ Ya Rahmaan, Ya Rahiim, Ya Maalik, Ya Qaadir dst”. Dan terakhir yang ke empat puji haadits ‘alal haadits seperti kita memuji sesama kita “ Wah, mba yang itu kok sholehah sekali yah”. Ke empat pujian tadi intinya satu yaitu milik Allah SWT.
Jikalau mereka menganggap bahwa memuji nabi di larang karena tidak di contohkan Nabi (baca:katanya). Sekarang mari kita buka lebar-lebar mata kita. Bukankah dalam ayat tersebut sudah jelas-jelas dicontohkan oleh Allah SWT tentang memuji Nabi?. Apakah kita merasa lebih besar dari Allah SWT? merasa lebih besar dari Tuhan? kita tidak mau memuji Nabi?. Tuhan saja memujinya, kita sebagai makhluk kok kemaki tidak mau memuji nabi. Al Qur’an sumber pertama dan utama kawan. Jangan menjadikan hadits sebagai yang pertama dan utama. Ketiga haadits ‘alal Qaadim seperti sebelum berdoa kita memuji Allah SWT “ Ya Rahmaan, Ya Rahiim, Ya Maalik, Ya Qaadir dst”. Dan terakhir yang ke empat puji haadits ‘alal haadits seperti kita memuji sesama kita “ Wah, mba yang itu kok sholehah sekali yah”. Ke empat pujian tadi intinya satu yaitu milik Allah SWT.
Jadi,
memuji Nabi itu memang telah di syari’atkan dan di contohkan sendiri oleh Allah
SWT. Yang tidak diperbolehkan itu menghina Nabi, menghina makhluk karena sama
saja pada hakikatnya secara tidak
sadar dan secara tidak langsung kita
menghina Allah SWT. Kalau ada yang tanya dalil, jawabo Alhamdulillah.
^_^
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda