Rebana (bahasa
Jawa: terbang) adalah gendang berbentuk bundar dan pipih yang
merupakan khas suku melayu. Bingkai berbentuk lingkaran terbuat dari kayu yang dibubut, dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit kambing. Kesenian di Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura sering memakai rebana bersama gambus digunakan untuk mengiringi tarian zapin. Rebana juga digunakan untuk melantunkan kasidah dan hadroh. Di bumiayu, rebana juga dijadikan sebagai lambang kota tersebut. (dikutip
dari https://id.wikipedia.org/wiki/Rebana )
Pepatah mengatakan jika tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka
tak cinta. Oleh krena itu, bagaimana kita bisa dikatakan “mencintai” rebana
jika hanya sebatas tahu saja mengenai aliran musik islami yang satu ini.
Memanglah benar jika rebana sudah tak asing lagi ditelinga kita ataupun
masyarakat awam. Akan tetapi belum banyak orang mengenal secara dalam musik
rebana. Sebelum jauh menelusuri rebana, alangkah lebih baik jika kita menengok
sejarah bagaimana rebana sampai di Indonesia terlebih dahulu.
Sejarah mencatat bahwa di abad ke-6, masyarakat Anshor Madinah
menggunakan rebana sebagai musik pengiring penyambutan kedatangan Baginda Nabi
Muhammad SAW yang hijrah dari kota Makkah. Yang pada waktu itu mereka menyambut
dengan qasidah “Thaala’al Badru”. Sekitar abad 13 Hijriah, seorang ulama besar
dari Hadhramaut Yaman, beliau datang ke Indonesia dalam misi berdakwah
menyebarkan agama Islam. Dalam dakwahnya beliau membawa semacam kesenian dari
arab berupa qasidah yang juga di iringi alat musik rebana. Beliau yang juga
pengarang kitab mauild “Shimthud Duror” yang berisi kisah perjalanan Rasulullah
SAW yang sering kita baca selama ini. Sampai akhirnya majelis sholawat beliau
berkembang di kalangan masyarakat sekitar. Dengan berjalanya waktu, majelis
tersebut berkembang hingga ke seluruh Kalimantan,sumatra dan jawa, bahkan
hampir di seluruh wilayah di Indonesia ini terdapat majelis Sholawat yang pada
pembacaan qasidah biasanya di iringi dengan rebana.
Di dalam konteks dakwah, rebana di gunakan alat dakwah ampuh
melalui bidang kesenian oleh ulama’ penyebar islam terdahulu untuk merangkul
masyarakaat Indonesia yang kebanyakan menyukai kesenian musik, di mana di dalam
kesenian rebana tersebut berisi syair-syair memuji Rasulullah SAW dan
nasehat/pesan agama. (http://sentrafurniturejepara.com/sejarah-rebana/)
Rebana tidak hanya dikenal oleh kalangan masyarakat Indonesia saja,
Secara historis tambourine
atau rebana tersebut telah
diidentifikasi digunakan dalam berbagai bentuk genre musik termasuk pada musik Persia, Klasik, dan
musik Pop. Alat perkusi ini juga dapat ditelusuri kembali ke jaman
peradaban yang paling kuno sekalipun, termasuk dalam sejarah musik India, Cina,
Afrika Utara, Roma, Mesir dan Yunani di mana ia biasanya digunakan selama
periode acara-acara perayaan. Bagi masyarakat Melayu di negeri Pahang, permainan rebana sangat populer, terutamanya di kalangan penduduk
di sekitar Sungai
Pahang. Tepukan rebana mengiringi
lagu-lagu tradisional seperti indong-indong, burung kenek-kenek, dan
pelanduk-pelanduk. Di Malaysia, selain rebana berukuran biasa, terdapat juga
rebana besar yang diberi nama Rebana
Ubi, dimainkannya pada hari-hari raya
untuk mempertandingkan bunyi dan irama. Pada 320 SM dalam sejarah Yunani
kuno terbersit kisah seorang wanita yang memegang cermin dan memainkan rebana
sedang menghadapi jin bersayap dengan pita dan cabang dengan daun tergantung
pada perkusi ini. Pada garis-garis anyaman dekoratif berwarna merah yang
tergantung di tambourine, bisa terlihat tulisan Tamburello, yang merupakan salah satu istilah rebana dari Italia
Selatan.
Lalu bagaimana mengenai hukum
memainkan musik rebana? Bagaimana jika memainkan alat musik ini didalam masjid?.
Sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi jika kita membicarakan bagian sensitif
ini. Bahkan beberapa orang justru menjadikan topik ini untuk menyulut
perpecahan dan menumbuhkan intoleransi pada msyarakat Indonesia, naudzubillah.
Untuk lebih jelasnya yuk simak kutipan berikut!.
Seperti dikatakan oleh Munzir Almuswa dalam www.majelisrasulullah.org, didalam madzhab syafii bahwa Dufuf (rebana) hukumnya Mubah secara
Mutlak (Faidhulqadir juz 1 hal 11),diriwayatkan pula bahwa para wanita memukul
rebana menyambut Rasulullah saw disuatu acara pernikahan, dan Rasul saw
mendengarkan syair mereka dan pukulan rebana mereka, hingga mereka berkata :
bersama kami seorang nabi yg mengetahui apa yg akan terjadi”, maka Rasul saw
bersabda : “Tinggalkan kalimat itu, dan ucapkan apa apa yg sebelumnya telah kau
ucapkan”. (shahih Bukhari hadits no.4852)
Pada dasarnya, memukul/menabuh alat musik Duff (Rebana) –orang jawa
biasa menamakan gendang- dibolehkan (mubah). Hal ini sebagaimana sabda
Rasulullah saw :
فصل ما بين الحلال و الحرام الدف والصوت في النكا ح
Artinya : “ Batas antara halal dan haram adalah ‘duff’ dan suara di
dalam pernikahan*.” (HR. An Nasa’i 6/ 172-128; Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Al
Hakim, dan lainnya dari Muhammad bin Hathib. Di shahihkan oleh al Hakim dan
disetujui adz Dzahabi. Dan dihasan-kan oleh Syeikh al Albani di dalam Irwaul
Ghalil no. 1994. [Adakah Musik Islami, Muslim Atsari, At Tibyan – Solo, 2003])
*Maksud dari suara dalam pernikahan ialah semacam “nyanyian”,.
Lalu mengenai hukum memainkan musik
rebana didalam masjid ternyata pada
masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah
hadits:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ
عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ
إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ
إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ
اَللّهُمَّ نَعَمْ
“ Dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan
kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di
masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan
syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian
ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah
engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah
mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu
menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad [20928]).
Mengomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya
kebolehan melantunkan syair atau qasidah yang berisi puji-pujian, nasihat,
pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. Dari sisi syiar
dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, sarana dakwah ini
merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah
masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah Ta’ala,
pujian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dzikir dan nasihat. Dari
aspek psikologis, lantunan syair atau qasidah yang indah itu dapat menambah
semangat dan mengkondisikan suasana, kadang larut dalam keridnuan dan kecintaan
kepada Allah dan Nabi hingga meneteskan air mata. Ini merupakan suatu hal yang
baik dan bahkan dianjurkan dalam hal mengingat Allah dan Rasul-Nya.
Nah jadi begitulah sepak terjang musik rebana hingga saat ini. Bagaimana?
Semoga dapat meningkatkan kecintaan kita akan musik rebana dan juga memberi
petunjuk bagi kita untuk lebih melestarikan musik yang cenderung membawa kita
ke hal-hal yang lebih postif ini. Pastinya dong,... salam Cinta Indonesia Cinta
Sholawat .
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih atas komentar Anda