“Hidup untuk makan” , mungkin pepatah inilah yang dapat kita simpulkan melihat realitas kehidupan zaman sekarang ini. Ukuran susah atau tidaknya sesorang hanya dipandang dari sisi materi. Seorang petani yang merasa enjoy dengan pekerjaannya dipandang orang lain sebagai orang susah walau sebenarnya dia merasa bukan sebagai orang susah. Tukang becak, kuli bangunan, nelayan, dan profesi setingkat mereka diasumsikan sebagai pekerjaan tak terhormat yakni sebagai orang susah. Lucu, ya lucu sekali. Mereka tak merasa sebagai orang susah tapi dianggap orang susah. Aneh dan sungguh aneh. Seorang yang berdasi hidup mewah segalanya terfasilitasi dianggap sebagai orang sukses. Ketika ada seseorang anaknya lulus dengan gelar sarjana, dengan bangganya ia bilang “ Anak saya sudah jadi orang, wes dadi wong “. Apakah ini yang dinamakan hakekat kebahagiaan? Apakah kebahagiaan hanya diukur oleh banyaknya materi?. Sifat “ nrimo golek dunyo secukupe kanggo nyambung urip” ...